03 January 2009

Teten Masduki: Musik Sebagai Kesaksian


Musik Sebagai Kesaksian

Teten Masduki

Koordinator Indonesia Corruption Watch

Di Udara

Aku sering diancam

Juga teror mencekam

Kerap ku disingkirkan

Sampai dimana kapan?

(Efek Rumah Kaca)

Tidak banyak grup musik yang berhasil memadukan antara kualitas musik diantara gempuran musik melayu, dengan lirik yang bernas, memberikan kenyamanan berbahasa Indonesia dan pesan penuh kesaksian seperti layaknya WS Rendra.

Efek Rumah Kaca adalah salah satu grup musik yang membangkitkan kembali semangat tersebut. Sebelumnya kita mengenal berbagai nama seperti Iwan Fals, Kantata Takwa dan sebelumnya Mogi Darusman. Semuanya bersaksi mengenai kondisi zaman mereka. Tidak hanya metafora rayap-rayap dan babi gemuk oleh Mogi, wakil rakyat oleh Iwan Fals dan Efek Rumah Kaca, juga mengenai pentingnya memberikan kesaksian oleh Kantata Takwa.

Bermusik dan Bersaksi

WS Renda menciptakan puisi yang indah sekali dan dibawakan oleh Kantata Takwa, mengenai mereka yang dihinakan, tanpa daya. Rendra kemudian berkesimpulan bahwa orang-orang harus dibangunkan untuk mengabarkan kenyataan serta bernyanyi untuk menjadi saksi.

Kesaksian tersebut bahkan telah dibawakan sejak akhir 70-an oleh Mogi Darusman. Mogi menyanyikan mengenai rayap-rayap yang berbaju resmi dan merongrong tiang negara, serta babi-babi gemuk yang dengan tenang memakan kota dan desa. Mogi adalah salah satu pendukung setia ICW. Salah satu ikon penting di ICW, lukisan besar berjudul “No Corruption Zone” adalah sumbangan langsung dari Mogi pada tahun 2000.

Sebelumnya tahun 1976, Benny Soebardja bersama Giant Step bahkan telah mengangkat tema sosial, politik dan lingkungan dalam abumnya Giant on the Move, dengan lagu seperti “Air Pollution” dan “Decision”. Sayangnya disampaikan dalam lirik berbahasa Inggris yang jangkauannya terbatas.

Saat ini memang jarang grup musik yang bersaksi mengenai kondisi zamannya. Satu dari yang sedikit itu adalah Efek Rumah Kaca, yang musiknya mudah diterima oleh anak-anak muda urban. Salah satu kesaksian yang populer dihadapan anak-anak SMA dan mahasiswa adalah lagu “Di Udara” mengenai alm. Munir. Sebelumnya sulit dibayangkan bagaimana kesadaran mengenai aktivisme HAM alm. Munir bisa disampaikan secara mudah ke jantung anak muda, kalau tidak melalui kendaraan yang sudah akrab dengan mereka, budaya pop.

Budaya pop memang sering dilecehkan karena seolah berlawanan dengan budaya yang adiluhung, yang berpusat pada yang praktis, pragmatis dan instan, model McDonald dan MTV. Budaya pop juga dituduh sebagai mendorong konsumtivisme.

Tetapi ditengah arus deras budaya pop, banyak kantong-kantong perlawanan terhadap budaya pop yang instan, terutama di kota seperti Jakarta, Bandung dan Yogya. Alih-alih menekuni budaya instan dalam bermusik dengan memaksakan selera musik yang cenderung cengeng, banyak anak muda yang membuat musik mereka sendiri, dibiayai sendiri, direkam sendiri, diedarkan sendiri dan dipertunjukkan di kalangan sendiri.

Semangat independensi ini patut dihargai, karena menunjukkan bahwa tidak mengikuti arus besar adalah suatu pilihan. Sama sepertinya memperlakukan musik sebagai medium penyadaran adalah suatu pilihan. Ini adalah budaya pop yang adiluhung.

Masih Perlukah Bermusik untuk Bersaksi?

Eric Sasono dalam resensinya mengenai film Kantata Takwa mempertanyakan bahwa asumsi utama film Kantata Takwa adalah sebuah model negara korporatis Orde Baru yang omnipresent dan serba mengendalikan semuanya. Tetapi Eric juga menjawab bahwa karena arena sudah berubah, tidak ada lagi kekuatan sebesar Orde Baru, maka perlu semacam gerilya budaya, kesaksian mengenai cerita-cerita kecil disekitar, agar menyeruak dalam perhatian publik atau semacam advokasi kebijakan.

Banyak yang perlu disaksikan dan dikabarkan. Tidak hanya masalah yang sangat politis dan kadang banyak orang menghindarinya, tetapi juga masalah yang langsung bersentuhan dengan kepentingan musisi: apakah janji dukungan pemerintah terhadap ekonomi kreatif itu benar-benar dilaksanakan.

Majalah Rolling Stone menulis bahwa di Bandung, salah satu pusat ekonomi kreatif musik, desain dan seni rupa, tidak ada tempat yang representatif dari pemerintah seperti yang dijanjikan. Bahkan sekelompok pekerja kreatif membuat semboyan “Hidup Adalah Udunan” karena tiap kali hendak membuat kegiatan harus mengumpulkan uang dari dompet ke dompet dan kesulitan menyiasati tempat maupun perizinan.

Bersaksi mengenai zaman merupakan bagian integral dalam musik, karena musisi selalu tanggap dalam melihat dan mengolah setting sosial, budaya, politik dan ekonomi kontemporer, yang dilagukan dalam karya mereka.

Namun, apakah kesaksian atas zaman itu mampu mempengaruhi terjadinya perubahan zaman? Memang belum tentu, tetapi dengan kekuatan karyanya, musisi akan mampu menembus hati banyak kalangan yang sudah bosan dengan janji para elit yang bebal.

Elit bebal inilah yang pada Pemilu 2009 perlu kita sampaikan mosi tidak percaya.

Mosi tidak percaya

Ini masalah kuasa, alibimu berharga

Kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa?

Kamu tak berubah, selalu mencari celah

Lalu smakin parah, tak ada jalan tengah

Pantas kalau kami marah, sebab dipercaya susah

Jelas kalau kami resah, sebab argumenmu payah

Kamu ciderai janji, luka belum terobati

Kami tak mau dibeli, kami tak bisa dibeli.

Janjimu, pelan pelan akan menelanmu

Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya

Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya.

(Efek Rumah Kaca)


foto di Aksara pada saat peluncuran

No comments:

Post a Comment