24 January 2009
Efek Rumah Kaca di Kompas tiap Sabtu
Yang Agung dari Leuwinanggung
Kompas, Sabtu, 24 Januari 2009 | 01:10 WIB
Oleh Efek Rumah Kaca
Bicara tentang DPR, pelan-pelan menyusup dalam memori kita "Surat buat Wakil Rakyat", karya dari yang agung di Leuwinanggung: Iwan Fals. Apakah tidak ada lagu lain yang lebih kurang bertema sama? Mungkin ada, tetapi tidak bermalam di memori kita seperti si "wakil rakyat" itu.
Relevansi. Banyak orang bilang, lagu "Surat buat Wakil Rakyat" masih relevan dengan kondisi DPR kemarin dan saat ini. Masak sih? Artinya, DPR enggak banyak berubah, dong? Mari kita "bongkar" premis tersebut.
Untukmu yang duduk sambil diskusi, untukmu yang biasa bersafari, di sana di Gedung DPR.
Lirik ini tidak lagi relevan. Anggota DPR sekarang, dengan jas dan batiknya sering kali diam-diam melakukan sidang di luar Gedung DPR (baca: hotel) dan tanpa publikasi untuk menghindari kontrol publik.
Wakil rakyat kumpulan orang hebat, bukan kumpulan teman-teman dekat, apalagi sanak famili.
Banyak sekali caleg yang merupakan sanak famili yang belum tentu kompeten menjadi wakil rakyat. Dan satu pertanyaan, apakah masih ada orang hebat di sana?
Di hati dan lidahmu kami berharap, suara kami mohon dengar lalu sampaikan, jangan ragu jangan takut karang menghadang, bicaralah yang lantang jangan hanya diam,
Di kantung safarimu kami titipkan, masa depan kami dan negeri ini, dari Sabang sampai Merauke.
Cukup relevan karena bait ini berisi harapan rakyat yang masih jauh dari terpenuhi, apalagi terpuaskan. Agenda rakyat sulit mengalahkan agenda pribadi dan partai. Yang kurang relevan, anggota DPR sekarang sudah tidak lagi diam, dalam sidang sering terjadi interupsi. Bahkan pernah sampai baku hantam. Entah atas nama rakyat atau karena tidak paham tata tertib sidang.
Saudara dipilih bukan dilotre, meski kami tak kenal siapa saudara, kami tak sudi memilih para juara, juara diam juara he-eh juara ha-ha-ha.
Relevan dan tidak relevan. Pada pemilu lalu, karena banyaknya caleg dan rata-rata tidak dikenal menyebabkan pemilih bingung dan mulai mengandalkan "kreativitas lotre" untuk menentukan pilihan—mulai dari menggunakan kancing baju, buku jari, mencari nama yang keren, memilih kumis terunik, dan banyak lagi.
Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat.
Kurang relevan. Jangankan tidur di ruang sidang, datang sidang saja kadang-kadang. Mereka lebih senang "jalan-jalan ke luar". Mungkin mereka pikir "jalan-jalan ke luar" sama artinya dengan walk out. Atas nama waspada agar lagu tersebut tidak menjadi semakin tidak relevan (dalam konotasi negatif), maka lagu ini harus kembali dimasyarakatkan.
Yang agung dari Leuwinanggung, ayo dong turun gunung.
17 January 2009
Museum Narsis
Isinya full narsis. Semua koleksi menunjukkan dimana Rahmat ini berburu binatang dimana saja. Mulai dari Aceh Selatan, sampai Afrika Selatan. Yang lebih narsis lagi adalah fotonya dengan berbagai pemimpin dunia, mulai dari Mahathir, Soeharto, Mega, Gus Dur, Clinton, Bush Sr, Xanana Gusmao, dan terutama cewek-cewek cantik Miss Universe yang berkunjung ke Medan atau dikunjungi Rahmat.
Anaknya sendiri nerupakan Putri Favorit Indonesia 2008. Oklah, dengan kecantikan campuran Pakistan dan Melayu.
Salah satu yang bikin saya tertawa adalah: Rahmat dinobatkan sebagai 'Ikon Lokal Metroseksual Medan' hahahaha... Dari segi kedermawanan, ada satu piagam penghargaan dari badan zakat, bahwa Rahmat menyumbang zakat Rp. 25 juta..... Rasanya kearifan agama dan budipekerti kita mengajarkan bahwa kita jangan show off kedermawanan kita.
Terakhir, dibagian depan museum dipajang spanduk silaturahmi Rahmat Shah sebagai calon DPS Sumut dengan Persatuan Abang Becak Muslim.....
SUMUT
Sumatera Utara sejak diberantasnya preman oleh Sutanto, memang sudah aman. Tapi tetap saja pemerintahan belum tentu bersih.
Buat Kejaksaan dan Kepolisian, tolong jelaskan secara JUJUR, darimana uang untuk membeli rumah dan mobil anda.
Foto di Medan.
Pakar Pangan
Foto di Ciputat.
Godaan Bisikan Golput
Emangnya pemilih golput itu setan? Ya Tuhan, jagalah hati kami dari godaan memilih politikus yang terkutuk!
Foto di Medan.
Bung Hatta jadi hantu
Rasanya tak rela Bung Hatta dijadikan pendukung supaya partai anaknya, yang tidak jelas visinya, menang, baik di PKPI atau Gerindra.
Foto di Ciputat.
Jujur sekali: meminta tolong
Foto di Medan.
13 January 2009
Anak Cilacap
Cara mengidentifikasikan diri supaya dekat dengan konstituen ada banyak caranya. Budiman Sudjatmiko, selebiritis di PDIP, menulis tagline yang lengkap sekali.
10 January 2009
Berani karena pr*m*n
Jadi bisa dipahami kalau dia ngomong, dibelakangnya berdiri banyak pr*m*n.
Foto di Depok.
Bukan program tapi malah nyuruh-nyuruh
Foto di Depok.
Kapan bebas bayang-bayang
Si mbak selalu membayangkan dirinya anak biologis dan ideologis bapaknya. Kader partainya kemudian dengahn sukarela dibayang-bayangi pembayang itu.
Bagaimana Generasi Muda Depok mau merebut kembali (apa?) kalau berfoto saja tidak percaya diri?
Foto di Depok.
Alumni SMP & SMA Depok
Nah, dua orang ini mendekatkan dengan konstituen di Depok dengan memberi label alumni SMP dan SMA di Depok.
Apa alumni lainnya akan yakin diperjuangkan dua alumninya ini?
Foto di Depok.
Talk less do more lagi
Materi kampanye hanya foto besar, lambang partai, nama dicontreng dan pekerjaan yang mau dilamar (caleg DPR Depok).
Foto di Depok.
04 January 2009
Inovasi baru
Foto di Ciputat.
Biro iklan
Hanya saja iklan komersial juga sering sama dengan iklan politik: sama-sama banyak janji sedikit realisasi.
Foto di Ciputat.
Trust Me
Kalau kami tidak mengenal anda, bagaimana kami bisa percaya?
Foto di Ciputat.
Transfer dana
Semoga KPK juga mengikuti perkembangan layanan semacam ini.
Foto di Ciputat.
03 January 2009
Teten Masduki: Musik Sebagai Kesaksian
Musik Sebagai Kesaksian
Teten Masduki
Koordinator
Di Udara
Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
Sampai dimana kapan?
(Efek Rumah Kaca)
Tidak banyak grup musik yang berhasil memadukan antara kualitas musik diantara gempuran musik melayu, dengan lirik yang bernas, memberikan kenyamanan berbahasa
Efek Rumah Kaca adalah salah satu grup musik yang membangkitkan kembali semangat tersebut. Sebelumnya kita mengenal berbagai nama seperti Iwan Fals, Kantata Takwa dan sebelumnya Mogi Darusman. Semuanya bersaksi mengenai kondisi zaman mereka. Tidak hanya metafora rayap-rayap dan babi gemuk oleh Mogi, wakil rakyat oleh Iwan Fals dan Efek Rumah Kaca, juga mengenai pentingnya memberikan kesaksian oleh Kantata Takwa.
Bermusik dan Bersaksi
WS Renda menciptakan puisi yang indah sekali dan dibawakan oleh Kantata Takwa, mengenai mereka yang dihinakan, tanpa daya. Rendra kemudian berkesimpulan bahwa orang-orang harus dibangunkan untuk mengabarkan kenyataan serta bernyanyi untuk menjadi saksi.
Kesaksian tersebut bahkan telah dibawakan sejak akhir 70-an oleh Mogi Darusman. Mogi menyanyikan mengenai rayap-rayap yang berbaju resmi dan merongrong tiang negara, serta babi-babi gemuk yang dengan tenang memakan
Sebelumnya tahun 1976, Benny Soebardja bersama Giant Step bahkan telah mengangkat tema sosial, politik dan lingkungan dalam abumnya Giant on the Move, dengan lagu seperti “Air Pollution” dan “Decision”. Sayangnya disampaikan dalam lirik berbahasa Inggris yang jangkauannya terbatas.
Saat ini memang jarang grup musik yang bersaksi mengenai kondisi zamannya. Satu dari yang sedikit itu adalah Efek Rumah Kaca, yang musiknya mudah diterima oleh anak-anak muda urban. Salah satu kesaksian yang populer dihadapan anak-anak SMA dan mahasiswa adalah lagu “Di Udara” mengenai alm. Munir. Sebelumnya sulit dibayangkan bagaimana kesadaran mengenai aktivisme HAM alm. Munir bisa disampaikan secara mudah ke jantung anak muda, kalau tidak melalui kendaraan yang sudah akrab dengan mereka, budaya pop.
Budaya pop memang sering dilecehkan karena seolah berlawanan dengan budaya yang adiluhung, yang berpusat pada yang praktis, pragmatis dan instan, model McDonald dan MTV. Budaya pop juga dituduh sebagai mendorong konsumtivisme.
Tetapi ditengah arus deras budaya pop, banyak kantong-kantong perlawanan terhadap budaya pop yang instan, terutama di
Semangat independensi ini patut dihargai, karena menunjukkan bahwa tidak mengikuti arus besar adalah suatu pilihan. Sama sepertinya memperlakukan musik sebagai medium penyadaran adalah suatu pilihan. Ini adalah budaya pop yang adiluhung.
Masih Perlukah Bermusik untuk Bersaksi?
Eric Sasono dalam resensinya mengenai film Kantata Takwa mempertanyakan bahwa asumsi utama film Kantata Takwa adalah sebuah model negara korporatis Orde Baru yang omnipresent dan serba mengendalikan semuanya. Tetapi Eric juga menjawab bahwa karena arena sudah berubah, tidak ada lagi kekuatan sebesar Orde Baru, maka perlu semacam gerilya budaya, kesaksian mengenai cerita-cerita kecil disekitar, agar menyeruak dalam perhatian publik atau semacam advokasi kebijakan.
Banyak yang perlu disaksikan dan dikabarkan. Tidak hanya masalah yang sangat politis dan kadang banyak orang menghindarinya, tetapi juga masalah yang langsung bersentuhan dengan kepentingan musisi: apakah janji dukungan pemerintah terhadap ekonomi kreatif itu benar-benar dilaksanakan.
Majalah Rolling Stone menulis bahwa di
Bersaksi mengenai zaman merupakan bagian integral dalam musik, karena musisi selalu tanggap dalam melihat dan mengolah setting sosial, budaya, politik dan ekonomi kontemporer, yang dilagukan dalam karya mereka.
Namun, apakah kesaksian atas zaman itu mampu mempengaruhi terjadinya perubahan zaman? Memang belum tentu, tetapi dengan kekuatan karyanya, musisi akan mampu menembus hati banyak kalangan yang sudah bosan dengan janji para elit yang bebal.
Elit bebal inilah yang pada Pemilu 2009 perlu kita sampaikan mosi tidak percaya.
Mosi tidak percaya
Ini masalah kuasa, alibimu berharga
Kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa?
Kamu tak berubah, selalu mencari celah
Lalu smakin parah, tak ada jalan tengah
Pantas kalau kami marah, sebab dipercaya susah
Jelas kalau kami resah, sebab argumenmu payah
Kamu ciderai janji, luka belum terobati
Kami tak mau dibeli, kami tak bisa dibeli.
Janjimu, pelan pelan akan menelanmu
Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya
Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya.
(Efek Rumah Kaca)
foto di Aksara pada saat peluncuran
Yang muda yang sobek
Saya nonton film ini tahun 1998 di bioskop murah Yogya, setelah dibreidel 20 tahunan.
Tapi spanduk caleg ini lebih tepat diberi judul 'Yang Muda Yang Sobek-Sobek'.
Foto di Serua Ciputat.
Partai nasionalis baru
Foto di Serua Ciputat.